Pendidikan Materialistik

Selasa, 28 Desember 2010 / 22 Muharram 1432


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Saya seorang suami dengan dua orang putri. Penghasilan keluarga kami sangat pas-pasan karena pekerjaan saya yang serabutan. Kami kuatir dengan masa depan kami, terutama pendidikan anak-anak yang semakin mahal.

     Di sekolah negeri sekalipun, banyak biaya yang harus saya siapkan, seperti biaya pembangunan (uang pangkal), buku, transportasi, seragama, dll. Apa yang harus saya lakukan?

Mohon sarannya. Terima kasih sebelumnya.


Musa-Jakarta


Wa’alaykum salam Warahmatullahi Wabarakatuh

Bapak Musa dan para pembaca yang dicintai Allah,

    Sungguh dilematik ya, posisi kita sebagai orang tua di masa kini. Di satu sisi, kita dituntut untuk memberikan pendidikan tertinggi bagi putra-putri kita. Namun, disisi lain, biaya pendidikan luar biasa tingginya.

    Tingkat TK saja, ortu sudah harus merogoh kocek jutaan rupiah per bulan plus uang pangkal puluhan juta rupiah untuk memasukkan anak ke sekolah bermutu. Belum lagi untuk SD, SMP, SMA dan akhirnya kuliah (SI).

   Investasi orang tua untuk pendidikan anaknya, jika dirata-rata 1 juta/bulan—termasuk buku, seragam, les, dll - - bisa mencapai 240 juta. Nilai yang luar biasa besar! Padahal, begitu lulus sarjana tidak mendapat pekerjaan.

    Untuk menjadi PNS dengan gaji pas-pasan saja, masih harus “titip” sana sini alias “menyogok”. Sungguh, suatu perhitungan yang merugikan!

     Namun, jika orang tua tidak memberikan pendidikan setinggi mungkin, maka orang tua pun merasa bersalah. Banyak di antara orang tua yang berpikir “jika yang sarjana saja susah cari kerja, apalagi yang tidak sarjana” sehingga mereka pun merasa wajib mengirim anaknya kuliah.

    Setelah anaknya lulus, mereka pun berpikir “jika yang menyogok saja susah dapat pekerjaan, apalagi yang tidak menyogok” sehingga mereka pun menganggap suap-menyuap, titip-menitip sebagai hal yang lumrah dan tidak bisa dihindari.

    Mari kita resapi baik-baik gambaran yang saya berikan di atas. Ternyata, pusat dari sistem pendidikan kita adalah uang. Guru memilih tempat mengajar dengan pertimbangan uang.

    Baik buruk sekolah dikarenakan uang. Sekolah maju lantaran uang, sekolah pun tutup karena uang. Sekolah dipilih jika dianggap bisa mengantarkan muridnya ke pekerjaan yang hebat.

    Pekerjaan yang dinilai hebat pun tidak lain dan tidak bukan adalah yang menghasilkan banyak uang. Uang menjadi tujuan, alat, penyebab, dan bahkan penentu kebijakan.

    Orang tua, yakni kita ternyata turut punya andil dalam pendidikan materialistis ini. Kita berbicara kepada anak kita, “Hebat ya Pak Anu, punya kontrakan 20 pintu. Tiap bulan tinggal ongkang-ongkang kaki sudah dapat gaji”

Apa yang telah kita ajarkan di situ?

    Pertama, kita telah menilai derajat manusia dari uangnya, padahal Islam mengajarkan bahwa derajat manusia itu dinilai dari ketaqwaannya.

    Kedua, kita menunjukkan dukungan terhadap budaya instan dan kemalasan. Kita iri kepada orang-orang yang tidak bekerja keras. Kita menyukai jalan-jalan instan yang menghasilkan uang banyak tanpa memeras keringat.

    Padahal, usaha dan keringat itulah yang kelak mendapatkan keridloan Allah SWT, sedangkan uang yang kita hasilkan kelak malah harus dipertanggung jawabkan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW Bersabda:

   “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah.” (HR. Ahmad & Ibnu Asakir)

    Kita pun sering menunjukkan sikap rendah diri lantaran kondisi ekonomi yang pas-pasan. Padahal, dalam ekonomi yang pas-pasan tersebut terdapat kenikmatan-kenikmatan yang wajib disyukuri, salah satunya adalah pertanggungjawaban harta di akhirat lebih sederhana dibandingkan mereka yang kaya.Tidakah selayaknya kita baru merasa rendah diri jika ibadah kita yang pas-pasan?

    Bapak Musa yang dirahmati Allah, apa yang sebenarnya Bapak kuatirkan atas kedua putri Bapak? Apakah masa depan di dunia ataukah masa depan di akhirat? Masa depan di dunia pun terbagi dua, yakni masa depan secara materi dan masa depan secara hakiki.

    Masa depan hakiki adalah perasaan yang tenang, tentram, dan bahagia karena bisa menjalankan hidup dalam keridloan Sang Pencipta, Allah SWT. Masa depan materi tidak menjamin kebahagiaan di dunia, apalagi di akhirat, sehingga kaum Muslimin tidak layak untuk merasa depresi memikirkannya.

    Masa depan yang layak untuk dipersiapkan adalah masa depan duniawi hakiki dan dan masa depan akhirat, yang – Alhamdulillah – berjalan beriringan.

   Untuk menggapai masa depan yang baik ini, Insya Allah tidak dibutuhkan biaya yang banyak. Alhamdulillah masih banyak sekolah-sekolah agama atau pesantren yang gratis. Majelis taklim dan halaqah-halaqah pun masih bertebaran memberi kesempatan kepada kaum Muslimin untuk belajar mengejar masa depan yang sempurna.

    Disamping itu, Bapak juga bisa mengirim kedua putri Bapak untuk magang kepada ahli dari ilmu yang ingin mereka pelajari. Misalnya, ingin pandai berdagang, maka kirimlah mereka bekerja menjadi pembantu seorang saudagar. Tanamkan tekad untuk giat belajar dan akhlaqul karimah agar bisa mendapatkan kepercayaan dari majikannya sehingga ilmu-ilmu sang majikan bisa dia serap dengan baik.

    Tanamkan kebanggaaan sebagai pekerja keras, bukan kebanggan sebagai orang beruang. Banyak pedagang sukses berawal dari menjadi karyawan toko. Mereka bisa langsung belajar dari ahlinya, tanpa keluar biaya sepeserpun. Bandingkan dengan sarjana ekonomi yang menghabiskan ratusan juta, tapi belum tentu bisa berdagang.

     Insya Allah kedua putri Bapak kelak menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Aamiin.

*****
Erma Pawitasari

Pakar Pendidikan

Suara Islam Edisi 101 Tanggal 12 - 26 Dzulhijjah 1431 H / 19 Nopember – 3 Desember 2010 M, Hal 19