Kiat Dekat dengan Al Qur’an
Kiat Dekat dengan Al Qur’an
Senin, 24 Juni 2013 / 15 Sya'ban 1434 H
Al Qur’an tidak cukup hanya untuk dibaca apalagi jika cuma dilafazkan. Sekalipun membacanya saja memperoleh pahala, bahkan dihitung dari setiap hurufnya, keberadaan al Qur’an bukan sekadar untuk itu. Ia akan menjadi penggugat kita di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (hujjatu ‘alaina) manakala tidak diamalkan isinya.
Karena itu, membaca al Qur’an harus dibarengi dengan memahami maknanya dan mengamalkannya dalam segala aspek kehidupan. Dengan begitu akan muncul pribadi-pribadi yang berkualitas secara lahir dan batin.
Pribadi-pribadi yang berkualitas ini akan membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah serta masyarakat yang diberkahi oleh Allah SWT. Pada akhirnya, terbangunlah masyarakat yang berperadaban Islam sebagai mana dulu pernah dibangun oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam (SAW).
Tak Disyukuri
Namun, realitasnya kini, umat Islam banyak yang tidak menysukuri nikmat al Qur’an. Kitab ini belum dijadikan resep untuk mengelola kehidupan, tetapi sekadar dijadikan mantra ritual.
Akibatnya, kandungan al Qur’an tidak berefek pada perubahan pola pikir, sudut pandang, orientasi, dan perilaku kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara.
Tidak sedikit umat Islam yang hanya menjadikan al Qur’an sebatas kekayaan kognitif. Posisinya sama dengan ilmu-ilmu yang lain. Itulah sebabnya, banyak orang yang fasih membaca al Qur’an, tapi fasih pula mencela saudaranya.
Banyak yang bisa mengkhatamkan al qur’an, tapi sering melakukan manipulasi dan kebohongan publik. Banyak yang gemar membaca dan menghafal al Qur’an. Tetapi suka sombong, serakah dan hasud.
Sungguh memprihatinkan kondisi itu. Meminjam perkataan tokoh Mesir, Muhammad Abduh, seolah-olah kehebatan al Qur’an tertutup (terhijab) oleh kelemahan dan kekurangan kaum Muslim sendiri.
Perlakuam terhadap al Qur’an yang seperti inilah yang menjadi penyebab krisis multidimensi yang bersifat mikro (‘azamat sughra) dan krisis global (‘azamat kubra).
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaahaa (20): 124)
Maksud kehidupan sempit dalam ayat ini adalah didera berbagai persoalan dan tidak menemukan jalan keluar. Bisa juga berarti kehidupan yang serba cukup, tetapi semua yang dimiliki justru membuat lubang kehancurannya (istidraj), sehingga dia tidak bisa memaknai dan menikmatinya.
Lima Pola Interaksi
Untuk mengembalikan kita pola interaksi yang benar terhadap al Qur’an sehingga bisa menjadi sumber kekuatan dalam membangun peradaban (iman dan Islam), kiat-kiat berikut sangat perlu diwujudkan.
Pertama, tilawah wa tartil
Bila kita mampu membaca al Qur’an secara benar (tilawah wa tartil) dan berkesinambungan maka hal itu akan:
1. Menambah iman kepada Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Anfal [8] ayat 2 bahwa orang-orang yang beriman akan bergetar hatinya bila disebut nama Allah SWT serta bertambah imannya bila dibacakan ayat-ayatNya.
2. Mendatangkan petunjuk
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam surat Yunus [10] ayat 57 bahwa Al Qur’an akan menjadi petunjuk dan peyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
3. Menjadi indikator mutu keimanan
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah [2] ayat 121 bahwa orang-orang yang beriman, bila diberikan al Qur’an akan membacanya dengan benar, tidak merubah, dan tidak mentakwilkan sesuka hatinya.
4. Mendatangkan perkataan yang berbobot
Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Al Muzzamil [73] ayat 5 bahwa Al Qur’an adalah perkataan yang berat. Maksudnya, perkataan yang bisa melepaskan manusia dari belenggu kesesatan, mencerahkan pikiran dan hati yang kalut, serta merasakan kegembiraan dalam mengelola pasang surut kehidupan.
Kedua, tadabbur
Bila kita bisa merenungkan (mentadabbur) al Qur’an dengan baik maka akan membuka hati kita untuk menerima petunjuk Allah SWT dan memperolah pelajaran yang sangat berharga. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Shad [38] ayat 29.
Selain itu, orang yang membaca al Qur’an tanpa dibarengi dengan tadabbur akan mendatangkan bencana.
Ketiga, hifz
Hifz adalah menghafal al Qur’an. Al Qur’an mudah dihafalkan sekalipun oleh bukan orang Arab (‘ajam). Sebab, kata-kata, huruf-huruf, susunan kalimat, gaya bahasanya (uslub)nya, sesuai dengan fitrah manusia. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Al Qamar [54] ayat 17, 22, 23, dan 40.
Namun pada umumnya, orang akan sulit menghafalkan al-Qur’an jika banyak melakukan dosa. Imam Syafii suatu ketika pernah mengadu kepada Waki’ atas kejelekan hafalan al Qur’annya. “Ia (Waki’) membimbingku agar meninggalkan maksiat. Karena ilmu itu cahaya. Cahaya Allah tiada akan diberikan kepada yang berdosa,” ujar Imam Syafii
Selain itu, penghafal al-Qur’an akan terhindar dari kepikunan, dan setelah meninggal jasadnya diharamkan oleh Allah SWT untuk dilukai bumi.
Keempat, Ta’lim
Generasi yang dekat dengan Allah SWT adalah generasi yang tidak berhenti belajar (ta’lim) dan mengajarkan (ta’allam) al-Qur’an.
Firman Allah SWT:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللّهِ وَلَـكِن كُونُواْ رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani [208], karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali Imran (3): 79)
[208] Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah
Kelima, istima’
Orang yang selalu mendengarkan al-Qur’an (istima’), kata Allah SWT adalah manusia pilihanNya. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Al A’raf [7] ayat 203.
Selain itu, kegemaran mendengarkan al-Qur’an dan memilah-milah apa yang didengarkannya, menjadi indikator jiwa seseorang yang besar.
Allah SWT Berfirman:
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya [1311] dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, (QS. Az-Zumar (39): 17)
[1311] "Thaghut" ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya [1312]. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar (39): 18)
[1312] Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran- ajaran Al Qur’an dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quraan karena ia adalah yang paling baik.
Ingat, kaum Nabi Nuh dihancurkan oleh Allah SWT karena selalu menutup telinganya dari kebenaran.
Wallahu a’lam bish Shawab
Suara Hidayatullah / Agustus 2012/ Ramadhan 1433, Hal 16 – 17
No comments