Bila Petunjuk Tak Dituruti
Bila Petunjuk Tak Dituruti
Selasa, 18 Juni 2013 / 9 Sya'ban 1434 H
Coba simak pesan produsen yang ditempel pada sebuah kain berkualitas. “Hindarkan dari sinar matahari secara langsung, jangan di cuci memakai deterjen.”
Semua produk yang memerlukan perlakuan khusus selalu ada petunjuk penggunaan dan perawatannya. Bahkan sekadar tahu cara mengoperasikan sebuah mesin saja, seseorang harus kuliah selama empat tahun di program studi tertentu.
Hal ini disebabkan karena rumitnya teknis operasionalnya, serta risiko yang begitu besar andai terjadi kesalahan. Jika salah, korban jiwa bisa jatuh.
Bila produk sederhana saja kita perlu informasi akurat untuk menjalankannya, bagaimana dengan manusia yang merupakan “produk” kompleks dari Subhanahu Wa Ta’ala (SWT)
Tidak ada alternatif jawaban selain betapa pentingnya manusia mengikuti petunjuk yang juga berasal dari Allah SWT. Apalagi manusia adalah produk yang ditugasi untuk “mengoperasikan” atau berinteraksi dengan diri sendiri, manusia lain, hewan, tetumbuhan, bumi dan seluruh isi alam lainnya, serta berinteraksi dengan Allah SWT.
Amat Bodoh
Allah SWT memberitahukan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat bodoh alias sedikit pengetahuan. Manusia terlahir tanpa ilmu sama sekali, bahkan sekadar menyebut jari-jarinya sendiri pun harus diajari.
وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ الْسَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl (16) – 78)
Manusia pertama – yaitu Adam Alaihi Salam (AS) – yang diciptakan Allah SWT secara langsung dari tanah dan mendapat penghormatan sujudnya malaikat, tidak mempunyai ilmu sama sekali kecuali setelah diajari Allah SWT.
Namun, sejak awal Allah SWT telah memberikan amanah yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi, gunung, dan kemudian disanggupi oleh manusia sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [1234] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzab (33): 72)
[1234] Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.
Al Thabari menjelaskan bahwa tafsir dari kata “amanah” tersebut adalah melaksanakan perintah Allah SWT (Jami’ al bayan fi Ta’wil al Qur’an: XX/336).
Perintah utama yang harus dilaksanakan manusia adalah menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Caranya, dengan mengelola seluruh potensi dan sikapnya terhadap diri dan lingkungannya sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.
Peran ganda inilah yang disimpulkan dalam istilah Abdullah (hamba Allah SWT) dan khalifatullah (khalifah Allah SWT).
Sang Bijak
Tindakan yang tepat bagi pemberi amanah adalah memberi petunjuk yang jelas terhadap penerima amanah. Apalagi jika yang bersangkutan mengetahui betul bahwa si penerima amanah belum mempunyai ilmu sama sekalai.
Jika logika bijak ini ada pada manusia, maka Zat Yang Maha Bijaksana tentu jauh lebih bijak. Oleh karena itu secara riil Allah SWT memberikan bukti atas kebijaksanaanNya dengan memberi petunjuk kepada setiap kaum.
Tanpa petunjuk tersebut mustahil manusia mampu melaksanakan amanah. Sebab, tidak mungkin seseorang sengaja melakukan sebuah perintah padahal tidak mengetahui perintah itu, baik waktu, tempat, maupun caranya.
Kemustahilan tersebut berlaku kepada siapa saja, termasuk manusia paling mulia, yakni Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam (SAW). Sebelum tiba masa kenabian, Muhammad SAW digambarkan sebagai orang yang mencari-cari kebenaran yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia.
Allah SWT menggambarkan kondisi ini dengan firmanNya:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung [1584], lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh Dhuhaa (93): 7)
[1584] Yang dimaksud dengan "bingung" di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad sebagai jalan untuk memimpin ummat menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Allah SWT juga menjelaskan bahwa manusia, sebelum diturunkannya al Qur’an, berada dalam kesesatan yang nyata. Firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah (62) : 2)
Petaka Akibat Salah Petunjuk
Kita semua tahu bahwa kesalahan dalam memberi petunjuk bisa berakibat kesalahan dalam menyikapinya. Walaupun ada petunjuk, jika salah, tragedi akan terjadi.
Tragedi Bintaro tahun 1987 adalah bukti hal tersebut. Kereta yang penuh sesak dengan penumpang yang semestinya harus menunggu, diberi instruksi salah oleh sang kepala stasiun.
Kereta diperintahkan berangkat, maka terjadilah kecelakaan terhebat dalam sejarah perkeretaapian Indonesia dengan korban tewas 156 orang.
Berbagai tragedi kemanusiaan akan selalu terjadi, bahkan banyak yang jauh lebih mengerikan, ketika manusia berpaling dari petunjuk Allah SWT dan mengutamakan petunjuk selainNya.
Allah SWT Berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaahaa (20): 124)
Petaka perdana dalam sejarah manusia terjadi saat Nabi Adam AS abai dari petunjuk Allah SWT untuk menjauhi satu pohon. Nabi Adam AS malah terbujuk rayuan setan untuk mendekati pohon tersebut. Maka lepaslah pakaian surga dan beliau pun diusir dari surga (lihat surah Al A’raf ayat 19 – 24).
Pada kurun berikutnya, ada Fir’aun yang menjadikan syahwat kekuasaan sebagai petunjuk. Ia telah mengambil dua keputusan fatal Pertama, mentahbiskan diri sebagai tuhan.
Kedua, saat tuhan palsu ini khawatir tergeser kekuasaannya, ia memerintahkan agar semua bayi laki-laki yang terlahir di seluruh negeri dibunuh. Namun, Allah SWT menghancurkannya.
Begitu pula pada zaman sekarang ini. Ketika syahwat kaum Yahudi, yang mengaku superior di atas ras yang lain, dijadikan petunjuk oleh bangsa Israel untuk melakukan ekspansi, maka banyak kaum Muslim menjadi korban.
Anehnya, banyak negara justru mengamini secara de facto superioritas Yahudi itu. Akibatnya, Israel leluasa melakukan pelanggaran-pelanggara besar terhadap resolusi-resolusi PBB tanpa hukuman sama sekali.
Ada banyak musibah besar lainnya akibat manusia mengesampingkan petunjuk al Qur’an. Di bidang ekonomi, misalnya saat negara menyukai “hidayah” kapitalisme atau komunisme, maka terjadilah krisis ekonomi.
Kalaupun ada beberapa negara yang kokoh secara ekonomi, hal itu disebabkan keberhasilan mereka “menghisap” ekonomi negara lain.
Sejarah membuktikan, antitesis dari tragedi kemanusiaan hanya akan terwujud jika manusia mau kembali ke manual book-nya. Satu-satunya buku petunjuk operasional yang paling shahih dalam mengejawantahkan posisinya sebagai khalifah Allah SWT yang menghambakan diri kepadaNya adalah al Qur’an.
Tidak ada satu pun cerita tentang para Nabi yang pengikutsetianya celaka, sementara penentangnya selamat. Justru fakta sejarah membuktikan sebaliknya, pelaku setia petunjuk Allah SWT selalu berakhir dengan keselamatan dan keberuntungan.
Karena itulah wajar jika Allah SWT mewajibkan manusia untuk beriman kepada kitabNya. Sebab, memang tidak ada alternatif lain demi kebahagian manusia kecuali dengan mengikuti petunjukNya yang original.
Sejak masa Nabi SAW sampai akhir zaman hanya al Qur’anlah yang terjamin murni dan tidak pernah putus bukti kemukjizatannya.
Wallahu a’alam bish shawab.
Suara Hidayatullah / Agustus 2012/ Ramadhan 1433, Hal 14 - 15
No comments