Mintalah Rezeki pada-Ku, Pasti Kuberi
Di dalam kehidupan ini, tidak selalu kita menemukan hal yang menyenangkan selalu. Tentu ada suatu ketika berhadapan dengan hal yang terasa tidak menyenangkan. Seperti halnya roda berputar, senang dan sedih datang silih berganti.
Tanpa kita bisa hindari atau prediksi kedatangannya. Yah, itu sunatullah. Baik itu rasa senang maupun rasa sedih merupakan cara Allah menguji kita yang semuanya sudah termaktub di Lauh Mahfudz. Kali ini, mari kita belajar bersama, jika suatu ketika kita mengalami kesulitan rezeki.
Artikel 'Mintalah Rezeki pada-Ku, Pasti Kuberi' bisa menjadi panduan. Semoga bermanfaat.
Mintalah Rezeki pada-Ku, Pasti Kuberi
"Saya kurang setuju, kalau ayah menikah lagi," terdengar nada lirih seorang gadis yang tengah mencurahkan isi hatinya kepada pamannya. Istri ayah gadis itu sudah meninggal dunia setahun lalu. Usut punya usut, Fulanah, sebut saja nama gadis itu, mengkhawatirkan nasib perekonomian keluarganya jika ayahnya menikah lagi.
"Sekarang saja untuk memenuhi kebutuhan rumah saja sulit, apa lagi kalau ayah menikah lagi," lanjutnya dengan nada serak. Secara hitungan matematik, kekhawatiran Fulanah sangat rasional. Sebab, dari segi ekonomi mereka termasuk dari golongan bawah.
Ayahnya bekerja serabutan, yang hasilnya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, bahkan terkadang kurang. Kasus Fulanah merupakan satu di antara sekian banyak kekhawatiran sebagian masyarakat dalam memperoleh rezeki.
Sehingga muncul anekdot, "Mencari rezeki yang haram saja sekarang sulit, apalagi yang halal."
Spirit Al Razaq
Al Razaq adalah satu dari 99 sifat Allah Ta'ala yang termaktub dalam deretan al Asmaa'u al Husna. Al Razaq artinya Pemberi Rezeki. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa Allah SWT telah menetapkan serta mengenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dia Zat Pemberi rezeki.
Tidak hanya seputar manusia, bahkan seluruh makhluk di muka bumi ini, rezekinya berada pada kekuasaanNya. "Katakanlah: 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: 'Allah,' dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata". (QS. Saba' [34]: 24).
Menurut Qurthubi dalam tafsirnya; Tafsir Al-Qurthubii, ayat ini menegaskan -khususnya kepada orang-orang kafir- bahwa segala rezeki yang datang dari langit dan bumi semuanya itu berasal dari Allah semata.
Tidak satu pun makhluk yang mampu mendatangkannya sekalipun para tuhan orang-orang kafir tersebut. Dan sungguh kekuasaan Allah SWT itu sangat luas, tidak terbatas oleh waktu ataupun waktu. Tidak akan pernah habis, sekalipun di setiap detik manusia di muka bumi ini selalu meminta kepada-Nya.
Idealnya, seorang beriman meyakini konsep al Razzaq dalam mengais rezeki. Dengan cara demikian akan menselaraskan langkah kita dengan petunjuk dalam mencari rezeki. Dan akan sangat berbeda ketika keyakinan kita tentang Allah SWT sebagai al-Razaq itu dangkal.
Kasus yang menimpa Fulanah, diakibatkan kurangnya kepercayaan bahwa Allah-lah yang memberikan rezeki setiap hambaNya, bukan ayahnya yang bekerja serabutan. Oleh karena itu, kemiskinan acap kali menghantuinya, sebab yang menjadi sandarannya adalah ayahandanya sendiri, bukan Allah SWT, pemilik jagat raya ini.
Salah dalam menentukan sandaran pemberi rezeki ini pula, yang acap kali membuat seseorang mudah putus asa. Sebab, yang menjadi pijakannya adalah sesuatu yang sangat rapuh, yang dia sendiri tidak mampu menjamin keselamatan rezekinya sendiri.
Terhadap pribadi-pribadi macam ini, Rasulullah SAW pernah mengingatkan. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda; "Siapa saja yang tertimpa kekurangan, kemudian ia mengadukannya kepada sesama manusia, maka kekurangannya tidak akan tertutupi. Tetapi siapa saja yang mengadukannya kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadanya rezeki segera ataupun lambat." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Harus Dijemput
Sekalipun demikian, bukan berarti kita berpangku tangan, bak menanti uang turun langsung dari langit. Tidak demikian. Kita tetap harus berusaha semaksimal mungkin, sebagai ikhtiar untuk menjemput rezeki Allah SWT tersebut.
Pernah suatu hari, Umar bin Khaththab masuk ke masjid. Di lihatnya ada seseorang sedang berlama-lama berdo'a, "Ya Allah, berilah hambamu ini rezeki yang melimpah." Lalu Umar mendekatinya seraya berkata dengan nada yang memendam kemarahan,
"Sungguh, engkau tahu bahwa langit tidak akan pernah menurunkan hujan emas ataupun perak!" Kemudian, Umar menyuruh orang tersebut keluar dari Masjid untuk bekerja di ladang atau di pasar. Dari kisah tersebut bisa disimpulkan, untuk memperoleh rezeki yang Allah tetapkan bagi kita, harus dengan bekerja memeras keringat.
Hal ini dilakukan sebagai upaya memperoleh apa yang telah dijanjikan. Allah SWT telah menetapkan .kadar rezeki kita, namun untuk mengambilnya kita harus menjemputnya dengan cara selalu bekerja keras. Seperti halnya kita hendak makan hidangan yang ada di depan kita.
Kita pun perlu menggerakkan tangan untuk mengambil makanan tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Baru bisa dinikmati. Begitu pula kaitannya dengan rezeki, harus diburu.
Iman, Rezeki Terbesar
Di tengah mewabahnya virus materialisme seperti saat ini, tidak sedikit kaum Muslimin yang telah mempersempit makna rezeki. Bagi mereka rezeki itu berupa materi belaka ketika harta melimpah, jabatan mentereng, dan tubuh yang gagah lagi sehat berada dalam genggaman seseorang, maka sering disebut tengah mendapatkan limpahan rezeki.
Sebaliknya, ketika hal tersebut lepas dari genggaman, hidup terasa hampa karena merasa rezeki telah sirna. Pemahaman macam ini tentu keliru. Memang kita tidak menafikan bahwa rezeki itu berupa materi. Namun hal itu bukanlah satu-satunya.
Ada satu rezeki yang saat ini kurang mendapat perhatian, padahal merupakan karunia Allah paling besar bagi setiap hambaNya. Dan, tidak semua orang mendapatkannya. Rezeki itu adalah iman, hidayah, atau petunjuk Allah SWT kepada jalanNya yang benar.
Iman merupakan rezeki dari Allah SWT yang paling besar, yang Allah SWT berikan kepada siapa yang Dia Kehendaki. Ia menjadi rezeki yang paling berharga, karena ia menjadi dasar utama sukses atau tidaknya seseorang melakukan 'perniagaan' hidup di muka bumi ini.
Setiap perilaku seorang hamba akan mendapat nilai di sisi Allah SWT, apabila di dalam hatinya ada keimanan. Dan sungguh, akan sia-sia segala aktivitas seseorang di sisiNya, manakala tidak dilandasi keimanan yang tulus kepadaNya.
Jadi, kalau sudah demikian, apalah gunanya harta melimpah, jabatan mentereng, namun semuanya itu tidak membawa manfaat sedikitpun bagi pemiliknya di dunia, lebih-lebih di akhirat karena lenyapnya iman dari sanubari.
Kesimpulannya, sebagai seorang beriman, seharusnya kita menyandarkan segala urusan kita, terutama masalah rezeki, kepada Allah SWT semata. Dia pemilik bumi dan langit dan apa-apa yang ada di dalamnya. Di tanganNya berada rezeki kita dan barang siapa menyadarkan urusannya selain kepada Allah SWT, maka kekecewaan akan senantiasa menghantuinya. Wallahu a'lam bishowab
Robinsah
Pengasuh Pesantren Hidayatullah Surabaya
Suara Hidayatullah, Juni 2012/Rajab 1423 Hal 92 - 93
No comments