Anda Muslim, Maka Harus Dicurigai
Anda Muslim, Maka Harus Dicurigai!
Islam masih dianggap ancaman bagi Amerika. Maka berbagai cara dilakukan intelijen memata-matai Muslim di negeri adidaya itu.
Mohamed Hussein warga Amerika Serikat (AS) asal Maroko, mengubah namanya menjadi Leo Santini. Bukan karena ia murtad, tetapi karena ia yakin akan mendapat perlakuan lebih baik jika namanya tidak berbau Arab. Ia bahkan berpesan kepada ketiga anaknya agar tidak kelihatan seperti orang Arab supaya tidak mendapatkan masalah.
Kedengarannya konyol, tetapi begitulah kenyataannya. Muslim di AS, meskipun sudah resmi menjadi warga negara tapi masih mendapat perlakuan diskriminatif. Bukan karena ras, etnis atau warna kulitnya, melainkan karena agama yang mereka yakini, yaitu Islam.
Pasca runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) di New York tahun 2001, umat Islam di AS menjadi bulan-bulanan di New York dan sekitarnya, polisi sengaja memata-matai komunitas Muslim meskipun tidak ada indikasi adanya tindak kejahatan yang dilakukan oleh warga setempat.
Ratusan halaman dokumen internal Dinas Kepolisian New York (NYPD) yang didapat Associated Press (AP) menyebutkan 250 Masjid di New York dan New Jersey, serta ratusan tempat lainnya di lingkungan Muslim, dicurigai sebagai "titik api" yang potensial memunculkan aksi terorisme.
Titik api itu bisa berupa toko alat dan bahan kecantikan penjual bahan-bahan kimia, yang dapat di gunakan untuk membuat bom. Atau sebuah hawala, jasa pengiriman uang ke seluruh dunia dengan dokumentasi yang minim.
Polisi menyamar mengunjungi warung-warung internet dan melihat browsing history dari sebuah komputer. Jika ditemukan komputer tersebut pernah dipakai untuk mengakses website "Islam radikal", maka warung internet itu ditandai sebagai titik api.
Toko buku milik etnis tertentu tidak lepas dari daftar periksa. Jika ada seseorang pelanggan toko yang mencari buku radikal, maka polisi penyamar itu akan mencari si pemilik toko. Maksudnya tidak lain untuk mencari lebih banyak informasi. Toko buku itu, atau bahkan pemilik dan pelanggannya bisa jadi bahan pengintaian lebih lanjut.
Jika bos sebuah restoran kelihatan gembira dengan kabar kematian yang menimpa pasukan AS, maka pemilik beserta rumah makannya itu dapat dimasukkan dalam daftar titik api.
Perubahan nama seseorang tidak luput dari pencatatan, apakah ia mengubah namanya menjadi berbau Arab setelah masuk Islam, atau mengubah nama Arabnya menjadi nama orang Barat setelah menjadi warga negara AS. Alasannya, karena pelaku teror biasanya memiliki banyak nama.
NYPD menggolongkan 53 masjid sebagai "tempat yang perlu diperhatikan." Dua di antara masjid-masjid itu diberi tanda Karena terkait dengan Al Azhar, lembaga pendidikan tinggi Islam terkemuka sejagad. Padahal, Al Azhar jelas-jelas mengecam serangan 9/11 atas gedung WTC.
Syaikh Reda Shata asal Mesir, menganggap dirinya rekan pemerintah New York dalam memerangi terorisme. Ia bekerjasama dengan polisi dan FBI. Ia bahkan mengundang aparat ke Masjid untuk sarapan bersama.
Ia juga makan malam dengan Walikota New York; Michael Bloomberg. Namun ternyata NYPD memata-matainya. Tanpa disadari Shata, seorang polisi menyamar dan memonitor seluruh aktivitasnya. Dua petugas lain menyadapnya di Masjid.
Merambah Mahasiswa
Selasa 2 Juni 2009, seorang penjaga bangunan di New Brunswick, New Jersey, membuka pintu apartemen nomor 1076. Si penjaga mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan; buku-buku tentang terorisme bertebaran di atas meja, sementara di ruangan sebelah terdapat seperangkat komputer dan alat pengintai.
Penjaga gedung yang panik itu lantas menghubungi nomor 911, meminta agar polisi dan FBI segera datang ke gedung yang terletak di dekat Univ. Rutgers siang itu juga.
Apa yang mereka temukan di lantai satu gedung apartemen tersebut bukanlah tempat persembunyian teroris, melainkan sebuah pusat komando yang dibangun oleh tim khusus dari dinas intelijen NYPD.
Intelijen NYPD mulai memusatkan perhatiannya pada lingkungan kampus setelah mendapat informasi bahwa ada seseorang mahasiswa yang mengatakan ingin menjadi "martir".
Menurut seorang bekas anggota 'Demographics Unit', petugas polisi dalam penyamaran mendatangi acara-acara yang diselenggarakan oleh Organisasi Mahasiswa Muslim. Cyber Intelligence Unit NYPD, memanfaatkan para petutur bahasa Arab, Persia dan lainnya untuk memantau situs milik Organisasi Mahasiswa Muslim.
Mereka menelusuri ruang-ruang obrolan di dunia maya dan berbicara secara online dengan para mahasiswa Muslim.
Sampai 2006, polisi berhasil mengidentifikasi 31 organisasi mahasiswa Muslim. Tujuh di antaranya di cap sebagai kelompok yang berbahaya bagi keamanan negara.
Anggota Brooklyn College Islamic Society -salah satu organisasi yang ditandai khusus- mengatakan bahwa organisasi mereka memiliki sejumlah kesamaan dengan yang lain. Perkumpulan mereka memiliki dua ruang shalat terpisah, masing-masing untuk pria dan wanita, terletak di gedung mahasiswa sisi barat kampus.
Organisasi Mahasiswa Kedokteran terletak di sebelah mereka dan Organisasi Mahasiswa Veteran terletak di bagian belakang. Mereka juga rutin menghadirkan pembicara Salafi.
Menurut seorang petugas penegak hukum yang diwawancarai AP, tujuan dari semua aktivitas di atas adalah untuk membuat "Peta Manusia dari sebuah kota." Program itu meniru apa yang dilaksanakan oleh pemerintah Zionis Israel di Wilayah Tepi Barat, Palestina, kata seorang mantan pejabat polisi.
Unit Demograf
Sebelum Associated Press (AP) menurunkan laporan tentang kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh NYPD dibantu CIA atas warga Muslim AS di New York dan sekitarnya, satuan khusus intelijen bernama 'Demographics Unit' disangkal keberadaannya oleh para pejabat terkait.
Namun, setelah dikonfirmasi dengan dokumen yang ada, para pejabat itu sedikit membuka tabir tentang operasi khusus pengintaian terhadap Muslim, tentunya disertai berbagai macam dalih.
Berdasarkan dokumen yang didapat AP, Unit Demografi itu dibentuk oleh NYPD bersama sejumlah veteran CIA beberapa bulan setelah serangan 11 September 2011. Unit tersebut terdiri dari 16 orang petugas yang dapat berkomunikasi sedikitnya dalam lima bahasa asing.
Para agen di lapangan yang disusupkan ke dalam komunitas Muslim, disebut dengan istilah 'raker (s)' (Dari kata 'to rake' yang menunjuk pada kegiatan mengumpulkan dengan alat penggaruk). Tugas mereka mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi tentang komunitas dan individu Muslim yang ada dalam lingkungan tertentu. Termasuk data tentang organisasi, Masjid, serta tempat umum yang biasa didatangi kaum Muslim.
Di CIA, salah satu masalah terbesar yang selalu dihadapi adalah agen mata-mata mereka dibanjiri oleh orang kulit putih, dengan tindak-tanduk yang sangat kentara Amerika-nya. Sementara NYPD beruntung, karena anggotanya dari berbagai etnis.
Dengan menggunakan data sensus, kantor kepolisian mencocokkan petugas yang menyamar dengan komunitas etnis tempat tugasnya. Polisi Amerika keturunan Pakistan ditugaskan ke lingkungan etnis Pakistan, keturunan Palestina fokus di komunitas Palestina. Begitu seterusnya.
Mereka diperintahkan untuk berbaur. Mereka ikut kongkow-kongkow di kedai hookah, di kafe, sambil mengamati keadaan lingkungan secara diam-diam. Mereka bahkan mencermati isi buletin Muslim yang terpajang di dinding.
Para rakers yang ditugaskan di New York, New Jersey dan Connecticut terjun ke masyarakat Muslim berbekal informasi dari data sensus dan data base milik pemerintah.
Menyisir Kaum Muslim
Kegiatan bisnis yang dilakukan warga Muslim tidak luput dari intaian mata elang para rakers. Misalnya, bisnis penyewaan taksi yang banyak digeluti oleh Muslim asal Pakistan.
Ketika CIA melakukan operasi militer dengan menggunakan pesawat-pesawat tanpa awak dan mengebom wilayah Pakistan dengan alasan memburu kelompok teroris, NYPD akan menerjunkan rakers untuk mendengarkan komentar-komentar marah warga di lingkungan Muslim asal Pakistan.
Akhir tahun 2007, petugas tidak berseragam dari Unit Demografi ditugaskan menyelidiki komunitas warga keturunan Suriah di New York. Polisi merekam semua kegiatan bisnis hingga ke toko-toko kelontong dan warung makan.
Dalam dokumen laporan disebutkan tidak ada bahaya yang mengancam di komunitas itu. Meskipun penduduk di sana mayoritas beragama Yahudi. Warga Yahudi keturunan Suriah dikecualikan dari penyelidikan.
"Laporan ini memfokuskan pada komunitas Muslim yang lebih kecil," bunyi laporan tersebut.
Hal serupa dilakukan saat polisi mengambil foto, memonitor dan menguping komunitas bisnis warga keturunan Mesir tahun 2007. Berdasarkan dokumen polisi, petugas mengecualikan warga Mesir yang beragama Kristen Koptik (Qibty).
Di samping rakers ada pula "mosque crawler" (Penjelajah Masjid). Si penjelajah Masjid ini adalah informan yang khusus merekam semua aktivitas Masjid dan jamaahnya. Dia harus merekam isi ceramah para Ustadz, pembicaraan jamaah, bahkan mencari tahu apa komentar mereka tentang kebijakan AS. Informan diambil dari warga Muslim sendiri atau orang luar yang menyamar sebagai Muslim.
Muslim yang dimata-matai bukan hanya berasal dari negara tertentu. Ada 28 negara asal Muslim yang tercantum dalam daftar pengawasan intelijen AS, yang hampir semuanya merupakan negara Islam atau mayoritas Muslim.
Secara khusus, warga kulit hitam yang dekat dengan komunitas Muslim juga disebut kelompok yang harus diawasi.
Salah seorang pengacara di lingkungan NYPD, yang enggan mengungkap identitasnya karena tidak berwenang untuk bicara, mengatakan bahwa informasi dari para rakers tidak dikumpulkan dalam database departemen intelijen di kepolisian sebagaimana biasanya.
Informasi-informasi itu justru disimpan dalam database di Brooklyn Army Terminal, sebuah kawasan pelabuhan laut milik angkatan bersenjata AS, tempat pengiriman peralatan tempur dan logistik prajurit ke luar negeri.
Kenyataan bahwa NYPD melakukan aksi mata-mata dibantu oleh CIA, agen intelijen AS yang berdasarkan peraturan hanya diperbolehkan melakukan operasi di luar negeri dan bukan atas warga AS di dalam negeri, tidak membuat Komisioner NYPD; Ray Kelly merasa bersalah.
"Tidak semua orang akan senang dengan apa yang departemen kepolisian lakukan.Itulah ciri khas pekerjaan kami," kata Kelly kepada AP (Februari 2012). "Apa yang menjadi misi utama kami, tujuan utama kami adalah membuat kota ini aman, untuk menyelamatkan nyawa. Dan itulah yang kami lakukan."
Sementara para pejabat tinggi terkait lain yang dimintai komentar atau konfirmasi oleh AP tentang program NYPD dan CIA yang memata-matai Muslim Amerika itu, sebagian ada yang menolak menanggapi dan sebagian lain berkilah bahwa hal itu diluar kewenangannya.
Penasehat Presiden Obama paling top untuk urusan kontraterorisme; John Brennan, tahun 2011 pernah mengatakan bahwa apa yang dilakukan NYPD itu adalah tindakan "heroik" bagi negaras AS. (Dikutip ulang dari @ArdyErlangga).
Suara Hidayatullah | Juni 2012 | Rajab 1433, Hal 52 - 54
Namun, setelah dikonfirmasi dengan dokumen yang ada, para pejabat itu sedikit membuka tabir tentang operasi khusus pengintaian terhadap Muslim, tentunya disertai berbagai macam dalih.
Berdasarkan dokumen yang didapat AP, Unit Demografi itu dibentuk oleh NYPD bersama sejumlah veteran CIA beberapa bulan setelah serangan 11 September 2011. Unit tersebut terdiri dari 16 orang petugas yang dapat berkomunikasi sedikitnya dalam lima bahasa asing.
Para agen di lapangan yang disusupkan ke dalam komunitas Muslim, disebut dengan istilah 'raker (s)' (Dari kata 'to rake' yang menunjuk pada kegiatan mengumpulkan dengan alat penggaruk). Tugas mereka mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi tentang komunitas dan individu Muslim yang ada dalam lingkungan tertentu. Termasuk data tentang organisasi, Masjid, serta tempat umum yang biasa didatangi kaum Muslim.
Di CIA, salah satu masalah terbesar yang selalu dihadapi adalah agen mata-mata mereka dibanjiri oleh orang kulit putih, dengan tindak-tanduk yang sangat kentara Amerika-nya. Sementara NYPD beruntung, karena anggotanya dari berbagai etnis.
Dengan menggunakan data sensus, kantor kepolisian mencocokkan petugas yang menyamar dengan komunitas etnis tempat tugasnya. Polisi Amerika keturunan Pakistan ditugaskan ke lingkungan etnis Pakistan, keturunan Palestina fokus di komunitas Palestina. Begitu seterusnya.
Mereka diperintahkan untuk berbaur. Mereka ikut kongkow-kongkow di kedai hookah, di kafe, sambil mengamati keadaan lingkungan secara diam-diam. Mereka bahkan mencermati isi buletin Muslim yang terpajang di dinding.
Para rakers yang ditugaskan di New York, New Jersey dan Connecticut terjun ke masyarakat Muslim berbekal informasi dari data sensus dan data base milik pemerintah.
Menyisir Kaum Muslim
Kegiatan bisnis yang dilakukan warga Muslim tidak luput dari intaian mata elang para rakers. Misalnya, bisnis penyewaan taksi yang banyak digeluti oleh Muslim asal Pakistan.
Ketika CIA melakukan operasi militer dengan menggunakan pesawat-pesawat tanpa awak dan mengebom wilayah Pakistan dengan alasan memburu kelompok teroris, NYPD akan menerjunkan rakers untuk mendengarkan komentar-komentar marah warga di lingkungan Muslim asal Pakistan.
Akhir tahun 2007, petugas tidak berseragam dari Unit Demografi ditugaskan menyelidiki komunitas warga keturunan Suriah di New York. Polisi merekam semua kegiatan bisnis hingga ke toko-toko kelontong dan warung makan.
Dalam dokumen laporan disebutkan tidak ada bahaya yang mengancam di komunitas itu. Meskipun penduduk di sana mayoritas beragama Yahudi. Warga Yahudi keturunan Suriah dikecualikan dari penyelidikan.
"Laporan ini memfokuskan pada komunitas Muslim yang lebih kecil," bunyi laporan tersebut.
Hal serupa dilakukan saat polisi mengambil foto, memonitor dan menguping komunitas bisnis warga keturunan Mesir tahun 2007. Berdasarkan dokumen polisi, petugas mengecualikan warga Mesir yang beragama Kristen Koptik (Qibty).
Di samping rakers ada pula "mosque crawler" (Penjelajah Masjid). Si penjelajah Masjid ini adalah informan yang khusus merekam semua aktivitas Masjid dan jamaahnya. Dia harus merekam isi ceramah para Ustadz, pembicaraan jamaah, bahkan mencari tahu apa komentar mereka tentang kebijakan AS. Informan diambil dari warga Muslim sendiri atau orang luar yang menyamar sebagai Muslim.
Muslim yang dimata-matai bukan hanya berasal dari negara tertentu. Ada 28 negara asal Muslim yang tercantum dalam daftar pengawasan intelijen AS, yang hampir semuanya merupakan negara Islam atau mayoritas Muslim.
Secara khusus, warga kulit hitam yang dekat dengan komunitas Muslim juga disebut kelompok yang harus diawasi.
Salah seorang pengacara di lingkungan NYPD, yang enggan mengungkap identitasnya karena tidak berwenang untuk bicara, mengatakan bahwa informasi dari para rakers tidak dikumpulkan dalam database departemen intelijen di kepolisian sebagaimana biasanya.
Informasi-informasi itu justru disimpan dalam database di Brooklyn Army Terminal, sebuah kawasan pelabuhan laut milik angkatan bersenjata AS, tempat pengiriman peralatan tempur dan logistik prajurit ke luar negeri.
Kenyataan bahwa NYPD melakukan aksi mata-mata dibantu oleh CIA, agen intelijen AS yang berdasarkan peraturan hanya diperbolehkan melakukan operasi di luar negeri dan bukan atas warga AS di dalam negeri, tidak membuat Komisioner NYPD; Ray Kelly merasa bersalah.
"Tidak semua orang akan senang dengan apa yang departemen kepolisian lakukan.Itulah ciri khas pekerjaan kami," kata Kelly kepada AP (Februari 2012). "Apa yang menjadi misi utama kami, tujuan utama kami adalah membuat kota ini aman, untuk menyelamatkan nyawa. Dan itulah yang kami lakukan."
Sementara para pejabat tinggi terkait lain yang dimintai komentar atau konfirmasi oleh AP tentang program NYPD dan CIA yang memata-matai Muslim Amerika itu, sebagian ada yang menolak menanggapi dan sebagian lain berkilah bahwa hal itu diluar kewenangannya.
Penasehat Presiden Obama paling top untuk urusan kontraterorisme; John Brennan, tahun 2011 pernah mengatakan bahwa apa yang dilakukan NYPD itu adalah tindakan "heroik" bagi negaras AS. (Dikutip ulang dari @ArdyErlangga).
Suara Hidayatullah | Juni 2012 | Rajab 1433, Hal 52 - 54
No comments