Breaking News

Seorang Santri ditawari Nikah Mut'ah

Seorang Santri ditawari Nikah Mut'ah


  Seorang teman bekerja di perusahaan koperasi Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar sebagai operator taksi. Salah seorang sopirnya menelpon bahwa ada penumpang wanita cantik mengenakan busana Muslimah dengan jilbab besar warna hitam menawarinya untuk nikah kontrak.

  Sang teman yang bertahun-tahun mondok di Pesantren Istiqamah Maccopa-Maros, dan tahu tentang syariat agama Syiah terkait nikah mut'ah langsung menimpali sopirnya, katanya, Coba tanya itu cewek, apakah dia penganut Syiah? Dan wanita itu, ketika ditanya apakah dirinya menganut paham Syiah? Sontak berubah sikap dan merasa jika kedoknya terbongkar, ia pun bergegas turun dari taksi padahal belum sampai tujuan.

  Cerita nyata di atas menggambarkan begitu massifnya sekte Syiah dalam menjerat Ahlussunnah agar ikut tersesat bersama mereka, walau harus mengorbankan 'kemaluannya'. Di tengah dahsyatnya fitnatun-nisa' (godaan wanita), maka tidak sedikit pemuda Ahlussunnah yang tertipu, terjerat, lalu berkubang kesesatan bersama sempalan Syiah.

  Nampaknya, fenomena nikah mut'ah alias kawin kontrak harus terus-menerus dipaparkan kesesatannya, sebab jika ini terus berlanjut akan merusak sendi-sendi syariat yang telah mengharamkan nikah mut'ah bahkan merontokkan khazanah dan budaya bangsa dan negara yang sangat menghargai sakralitas pernikahan.

*****

  Pernikahan adalah akad yang sangat agung. Ia disebut 'mitsaqan ghaliza' karena dampak dari akad yang tak lebih dari satu menit itu amat luas. Ucapan akad pernikahan mengantarkan tanggungjawab yang dipikul seorang wali kepada seorang laki-laki yang menjadi suami. Akad pernikakahan juga menjadikan haram berubah wujud menjadi halal, yang dosa menjelma jadi pahala. Akad nikah juga melahirkan garis nasab di mana hak waris melekat padanya.

  Pernikahan adalah kebaikan yang bertambah bersama berkah. Di dalamnya mencakup keberkahan dalam masa senang maupun sulit. Jadi, tidak sekadar berburu kesenangan semata melalui kelamin.

  Salah satu adat yang mirip dengan pernikahan namun secara esensi berbeda adalah nikah mut'ah. Nikah mut'ah atau kawin kontrak agaknya tak asing didengar masyarakat saat ini. Hubungan laki-laki dan perempuan yang diikat dalam perjanjian masa tertentu. Di dalamnya tidak aada pengakuan anak, terlebih waris. Beberapa disebutkan wanita dalam mut'ah tidak wajib untuk diberi nafkah lahir.

   Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan dua kali fatwa tentang nikah model ini. Pertama, menyoroti tentang nikah mut'ah dan nikah wisata yang tak jauh beda dari praktik nikah mut'ah.

   Dalam sejarah Islam, praktik nikah mut'ah pernah dihalalkan. Seperti pendapat Imam Nawawi rahimahullah dalam "Syarah Shahih Muslim". Menurut ulama besar mazhab syafi'i ini, yang benar dalam masalah nikah mut'ah adalah pernah diperbolehkan kemudian diharamkan dua kali. 

   Diperbolehkan sebelum perang Khaibar, lalu diharamkan saat perang Khaibar. Pernah pula diperbolehkan tiga hari ketika Fathu Makkah tepatnya pada perang Authas kemudian setelah itu diharamkan selamanya hingga hari kiamat.

  Fatwa MUI, ketika menyatakan keharaman nikah mut'ah menukil beberapa hadis. Seperti yang diriwayatkan Imam Muslim. Dari Rabi' bin Sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, Saya hendak menghadap Rasulullah, namun beliau sedang berdiri antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim dengan menyandarkan punggungnya ke Kakbah seraya bersabda, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan kalian untuk istimta' daripada perempuan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barangsiapa yang masih memiliki perempuan tersebut hendaknya melepaskannya. Jangan ambil sesuatu pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada mereka.

   Dalam hadis lain, dari Iyas Ibnu Salamah dari ayahnya berkata, Rasulullah memberikan keringanan pada tahun Authas untuk melakukan mut'ah selama tiga hari kemudian melarang praktik tersebut, (HR. Muslim).

   Dengan dasar itu, jumhur ulama mengharamkan praktik nikah mut'ah. Dalam Al-Qur'an, "Dan di antara sifat orang mukmin itu mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri atau hamba sahaya mereka. Maka, sungguh mereka dalam hal ini tidak tercela," (QS. Al-Mu'minun: 5-6), wanita yang dinikahi secara mut'ah bukan termasuk istri atau hamba sahaya.

  Meskipun dilaksanakan akad layaknya pernikahan, ada beberapa perbedaan antara akad nikah dan mut'ah. Akad mut'ah tidak saling mewarisi, iddah mut'ah juga tidak sama dengan iddah nikah sungguhan, seorang yang mut'ah tidak dianggap muhshan, nikah mut'ah bisa dengan sebanyak-banyaknya wanita, dan pastinya, nikah mut'ah bertentangan dengan tujuan pernikahan yang melanggengkan keturunan.

   Dalam konteks Indonesia, Praktek nikah mut'ah dinilai MUI bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam dan UU perkawinan No 1 Tahun 1974, padahal, menaati peraturan pemerinath adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kaidah fikih, Keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perbedaan. Hukmul hakim yarfa'ul khilaf.

   Komisi Fatwa MUI yang saat itu diketuai Prof KH Ibrahim Hosen memberi pertimbangan jika mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Sunni dan menolak ajaran mut'ah dalam paham Syiah secara umum. Sebagaimana dimaklumi, sekte Syiah sangat mendorong pengikutnya untuk melaksanakan nikah mut'ah, makin sering seseorang bermut'ah, makin tinggi pula derajatnya di sisi Tuhan. Tentu saja itu pendapat konyol dan sesat.

   MUI menegaskan kembali dalam Munas tahun 2010 tentang nikah wisata. Nikah wisata juga dinyatakan haram karena hanya diniatkan untuk kebutuhan sesaat. Nikah wisata adalah salah satu bentuk dari nikah mut'ah. Dasar keharaman dalam hadis disebutkan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah melarang nikah mut'ah pada perang Khaibar, juga melarang memakan daging keledai peliaharaan, (HR. Muttafaq 'alaihi).

  Umar bin Al-Kahttab, berkata, Sesungguhnya Rasulullah SAW memberi izin mut'ah selama tiga hari kemudian mengharamkannya, Demi Allah, saya tidak mengetahui satu pun laki-laki yang melakukan mut'ah sementara dia seorang yang pernah menikah kecuali saya rajam dengan batu, (Riwayat Ibnu Majah). Demikian pula Ibn Al-Humam dalam "Fathul Qadir" menyebut para ulama berijma', jika hukum nikah mut'ah adalah haram selamanya, (Harian Republika, 26/9/2014).

   Maka, keharaman nikah mut'ah sangat terang-benderang, sebagaimana sinar matahari di siang bolong. Dan, jika masih saja ada agama, atau golongan yang menghalalkan dan mengamalkan maka, pastikan ia telah tersesat dan keluar dari jalur kebenaran, jalan Ahlussunnah wal-Jama'ah sebagaimana telah dilalui Rasulullah, para sahabat, dan segenap generasi salafus-shaleh. Semoga kita selalu istiqamah di jalan yang benar. Ya Allah, tunjukillah kami jalan yang benar. Ihdinas-shiratahl mutaqiem.

Dimuat juga di harian Cakrawala Makassar, Jumat 17 Okt 2014.

(Ilham Kadir/lppimakassar.com)

No comments