Dua Sisi Negeri Kincir
Dua Sisi Negeri Kincir
Beberapa waktu lalu, KH Cholil Ridwan mendapat tugas untuk mensosialisasikan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke negeri Belanda. Banyak hal menarik yang dialami oleh Ketua MUI selama disana. Berikut penuturannya kepada Dwi Budiman, koresponden Suara Hidayatullah
Sebagai anggota Komisi Fatwa, saya mendapat tugas dari MUI untuk mensosialisasikan fatwa-fatwa MUI kepada orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Makanya, selama di sana saya menjadi tamu resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Belanda di Den Haag, semua fasilitas selama di sana, dipersiapkan sepenuhnya oleh KBRI.
Selama dua pekan di Den Haag, saya tinggal di asrama sekolah Indonesia milik KBRI. Sekolah ini resmi di bawah Kementerian Pendidikan Nasional RI. Saya sempat bertanya kepada murid-murid di sana; "Kamu shalat Shubuhnya dimana?" Mereka menjawab, "Di kamar masing-masing, Pak. Kadang gak shalat kalau kesiangan.".
Akhirnya saya adakan shalat Subuh berjamaah selama saya di sana. Dilanjutkan dengan ceramah usai shalat Shubuh selama satu jam. Ternyata mereka happy, meski banyak juga yang tidur selama ceramah berlangsung.
Dalam mensosialisasikan fatwa MUI, saya keliling ke kota-kota besar seperti Den Haag, Amsterdam, Utrecht, Groningen, dan Rotterdam. Di Den Haag saya tiga kali melakukan sosialisasi. Tempatnya di Masjid al-Hikmah yang dijembatani Persatuan Pemuda Muslim Eropa (PPME).
Di depan masyarakat Indonesia di Den Haag. Saya juga berkesempatan khutbah Idhul Adha dan Khutbah Jum'at dua kali di Masjid itu. Di Amsterdam, dua kali saya melakukan sosialisasi. Pertama difasilitasi oleh PPME dan kedua oleh masyarakat Indonesia yang lebih luas.
Di Utrecht saya sosialisasikan sekali, di fasilitasi yayasan warga Indonesia yang mereka dirikan. Lalu di Groningen dan Rotterdam, masing-masing satu kali. Ada juga undangan makan bersama tokoh-tokoh Islam Indonesia di restoran Indonesia di Den Haag.
Kesulitan mereka, tidak mungkin mendengar ceramah di hari kerja. Sebab peraturan kerja mereka sangat ketat dan disiplin. Sehingga mereka bisanya hanya malam Sabtu, Sabtu, malam Ahad, dan Ahad.
Dari ratusan fatwa yang telah difatwakan MUI, saya pilih beberapa fatwa yang berkaitan erat dengan kondisi di sana. Seperti fatwa haramnya natal bersama, haramnya rokok, haramnya 'sepilis' (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), haramnya bunga bank, larangan kawin beda agama, dan fatwa aliran sesat.
Dari sekian fatwa itu, ada tiga fatwa yang sulit mereka terima yakni haramnya nikah lintas agama, natalan bersama dan rokok. Mereka minta keringanan karena terlalu banyak orang Indonesia yang menikah lintas agama.
Kemudian mengenai fatwa haram rokok. Mereka mengatakan di negeri dingin seperti Belanda kalau tidak merokok kedinginan. Saya jawab, banyak makanan dan minuman lain yang bisa melawan dingin selain rokok, dan banyak orang yang tidak sakit, dan tidak mati karena tidak merokok.
Mereka juga keberatan dengan fatwa haramnya natalan bersama. Sebab mereka minoritas, dan jika tidak merayakan natalan, mereka dicurigai. Saya jawab, "Fatwa ini dibuat untuk orang Indonesia dan lingkungan Indonesia. Kalau anda disini merasa berat karena lingkungan silahkan diskusikan sendiri, tanya sama Ustadz di sini."
Terjadi Pengelompokan.
Umat Islam Indonesia di sana terbagi ke dalam empat kelompok, padahal jumlah mereka sedikit. Mereka sendiri yang bercerita bahwa di sana ada orang Islam Indonesia yang kalau kumpul biasanya istighasahan, baca asmaul husna, dan baca yasin.
Ada juga kelompok yang anti terhadap semua itu, sehingga rebutan masjid. Akhirnya, kelompok yang istighasahan mengalah dan beli masjid baru. Ada juga kelompok PKS (Partai Keadilan Sejahtera -red), walaupun tidak menyebut diri sebagai simpatisan PKS.
Mereka juga ngumpul sendiri. Kelompok keempat, bukan dari ketiga kelompok itu dan tidak mau bergabung dengan ketiganya, mereka misalnya para simpatisan Dewan Da'wah, ICMI dan alumni Gontor.
Keempat kelompok ini biasa melaksanakan ibadah dan acara sendiri-sendiri. Sangat jarang mereka bersama-sama. Selain keempat kelompok itu, ada orang Islam yang tidak mengelompok, yaitu umat Islam yang cuma kerja, jalan-jalan dan istirahat di rumah.
Mereka tidak shalat dan juga tidak shaum. Ini golongan orang Islam yang sudah terpengaruh kehidupan di Belanda. Mereka biasa pacaran, ciuman, dan minum khamar. Ini yang mayoritas. Jadi yang tidak bergabung dengan kelompok yang empat tadi hampir dipastikan mereka hanyut.
Maka, satu hal yang selalu saya tekankan kepada saudara Muslim di sana adalah bersatu. Mudah-mudahan mereka bisa bersatu di kemudian hari.
Dua Sisi
Selama di sana saya merasakan ada dua sisi yang saling bertentangan yang terjadi di tengah masyarakat. Pertama, sisi positif. Belanda merupakan negara maju yang masyarakatnya terbiasa hidup disiplin, rapi, aman, dan bersih.
Tidak heran jika setiap antrian terlihat orang berjajar rapi menunggu giliran. Antrian untuk naik bus misalnya, tidak ada pemandangan orang berebutanan berdesakan. Saya dapat cerita dari seorang perawat perempuan asal Indonesia, ia pulang tengah malam dan aman-aman saja.
Pemerintah juga memperhatikan kesejahteraan warganya. Transportasi diatur hingga memberikan kenyamanan bagi warga. Kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial dijamin oleh negara, termasuk bagi warga asing.
Bus dalam kota tidak bayar, juga telepon dalam kota gratis. Mereka seperti itu -walaupun bukan orang Islam- karena menjalankan nilai Islam, sementara orang Islam sendiri mundur karena tidak menjalankan ajaran agamanya.
Jadi sebetulnya orang Indonesia itu bisa disiplin, bersih, rapi, buktinya ya di Belanda itu. Kedua, sisi negatif. Belanda adalah sebuah negara yang menganut kebebasan, terutama dalam masalah moral.
Sehingga kehidupan seksual masyarakat misalnya, sangat bebas. Pria dan wanita berpelukan dan ciuman di tempat umum suatu yang wajar. Saya melihat sepasang pria dan wanita berpelukan dan berciuman di pinggir pantai.
Baik mereka, maupun orang disekitarnya tidak risih menyaksikan pemandangan itu, kecuali saya. Saya dapat informasi, bahkan saking bebasnya, sudah menjadi kewajiban bagi para guru SMP dan SMA, jika mereka mengadakan kemah atau piknik, diharuskan mengingatkan siswa-siswinya membawa alat kontrasepsi.
Mereka takut kalau berhubungan seks tidak pakai kondom dan bisa kena HIV atau hamil.
Pornografi di media massa juga sangat bebas. Hampir semua stasiun TV, jika sudah lewat tengah malam menayangkan film-film porno tanpa sensor. Tempat-tempat hiburan juga bebas menggelar tarian telanjang.
Inilah tantangan terberat yang dihadapi umat Islam di sana, terutama menyangkut pertumbuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Masyarakat Indonesia disana belum punya sekolah Islam, yang ada sekolah Islam milik orang Tunisia atau Turki.
Di balik semua itu, yang membahagiakan adalah jumlah orang Islam terus bertambah. Hampir di setiap pengajian ada orang Belanda yang masuk Islam. Ada dua sampai tiga orang setiap pekan yang bersyahadat.
Belum lagi jumlah Masjid makin banyak. Selama saya di sana saja, ada tujuh Masjid yang diresmikan, bantuan dari berbagai negara Islam. Semoga Islam semakin berkembang di negeri total football itu. Amin.
Suara Hidayatullah | Juni 2012/Rajab 1433, Hal 84 - 86
No comments